*TSd0TUWlBUC0Gpz9GSO9GpMlBA==*

Antroposentrisme Kambing Hitam Kerusakan Lingkungan

Ilustrasi global warming Foto: Pixabay.com

Indonesia mempunyai banyak instrumen yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup. Misalnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), UKL/UPL, Audit Lingkungan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dan berbagai perangkat undang-undang tentang lingkungan. Menjadi pertanyaan, mengapa kerusakan lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, kerusakan hutan semakin meningkat, perubahan iklim, meningkatnya bencana alam, dan meningkatnya konflik sosial akibat kerusakan lingkungan?

Sebagai contoh kongkret, terjadinya degradasi hutan yang ada di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2017 mencapai lebih dari 24,4 juta hektar tutupan hutan yang lebih luas daripada Inggris. Deforestasi di Indonesia salah satu penghancuran hutan dan produksi emisi gas rumah kaca terparah di Bumi.. Kerusakan tersebut terjadi di hutan lindung dan konservasi akibat aktifitas perambahan hutan, perkebunan dan pertambangan. Kerusakan hutan tersebut berdampak pada iklim global, tercemarnya sungai dan rusaknya habitat gajah, harimau sumatera, habitat orang utan, habitat rafllesia dan badak.

Bencana alam yang setiap tahun terjadi peningkatan, data yang dihimpun oleh BNPB dari bulan Januari-Februari Tahun 2021, telah terjadi 355 bencana. Dari seluruh bencana tersebut didominasi oleh bencana banjir sebanyak 217 kejadian, puting beliung sebanyak 63 kejadian, tanah longsor 58 kejadian, gempa bumi dan gelombang pasang dan abrasi sebanyak 7 kejadian, serta karhutla sebanyak 3 kejadian. Dari data tersebut 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi.

Kasus lain seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019, sekitar 320 ribu hektare–atau setara dengan hampir lima kali luas daratan DKI Jakarta–hutan dan lahan di Pulau Sumatra dan Kalimantan terbakar. Akibat asap ini sangat mengganggu kesehatan masyarakat. Banyak masyarakat yang terdampak dan mengidap penyakit ISPA. Kejadian ini tidak saja merugikan perekonomian Indonesia, bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga terdampak dan sangat dirugikan.

Cara Pandang Antroposentrisme

Kerusakan lingkungan tersebut akibat cara pandang manusia terhadap lingkungan yang salah. Cara pandang tersebut menganggap bahwa alam beserta isinya merupakan sebuah instrumen ataupun alat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Alam menjadi obyek pemenuhan kebutuhan manusia dan lumrah bila dieksploitasi. Cara pandang antroposentris inilah yang menjadi awal kerusakan lingkungan pada saat ini yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.

Pandangan antroposentris menganggap manusia berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang tersebut melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif dan merusak (destruktif) terhadap alam dan lingkungan.

Unuk menjaga keberlangsugan kehidupan di bumi, seharusnya manusia memiliki cara pandang yang baru dalam melakukan pengelolaan terhadap lingkungan. Manusia harus memposisikan sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk ekologis yang sangat tergantung dengan alam. Perilaku manusia sebagai bagian makhluk ekologis tidak bisa dipisahkan dari didasarkan pada sebuah cara pandang baru bahwa alam dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Cara pandang yang menghargai alam dan lingkungan, menjadi sebuah kewajiban bagi manusia. Karena manusia, hanya sebagian kecil dari keseluruhan materi penyusun alam semesta ini dan bukan penguasa tunggal. Dengan cara pandang yang baru, akan melahirkan sikap dan perilaku yang membangun sebuah pola interaksi yang harmonis antara alam dan manusia tanpa ada salah satu yang dirugikan.

Manusia merupakan bagian dari alam semesta dan berkedudukan yang sama dengan makhluk hidup lainnya. Sehingga menghormati alam merupakan sebuah nilai yang tinggi dan luhur demi keberlangsungan hidup manusia.

Berbeda dengan pemahaman antroposentrisme etika yang terbatas pada manusia saja dan biosentrisme yang terbatas pada makhluk yang bernyawa. Ekosentrisme merupakan sebuah tawaran sebuah etika lingkungan bagi seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Tidak hanya pada manusia dan komunitas hidup, ekosentrisme berlaku pada seluruh makhluk hidup dan benda tak hidup. Secara ekologis makhluk hidup dan benda tak hidup menjadi satu kesatuan. Sehingga manusia berkewajiban menjaga dan mempunyai tanggung jawab terhadap seluruh isi yang ada di bumi.

Namun, sempurnanya sebuah teori etika ekosentrisme, membutuhkan sebuah implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa penerapan dalam tatatan kehidupan manusia suatu keniscayaan lingkungan menjadi lebih baik dan berkelanjutan.

Untuk mewujudkan implementasi etika ekosentrisme dalam kehidupan manusia sehari-hari, harus tergambar dalam kehidupan manusia secara nyata. Baik dalam kehidupan berpolitik, sosial, ekonomi dan budaya. Penerapan tersebut harus tercermin dalam kehidupan bernegara secara kelembagaan dan gaya hidup (life style) individu.

Pertama, menghormati alam sebagai bagian dari manusia tidak terbatas hanya pada manusia saja namun mencakup seluruh penyusun materi yang ada di bumi, baik makhluk hidup biotis maupun benda yang tidak bernyawa abiotis. Benda tersebut mempunyai nilai bagi dirinya sendiri. Dan manusia wajib untuk menghormatinya.

Kedua, hidup sederhana tanpa pemborosan terhadap sumber daya alam karena ketersediaannya bersifat terbatas.

Ketiga, Mengurangi jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi akan berakibat meningkatnya jumlah kebutuhan akan sumber daya alam baik meningkatnya jumlah energi, air, ruang tempat tinggal. Dengan jumlah penduduk 7,5 miliar pada saat ini membutuhkan penanganan yang serius pada tahun-tahun selanjutnya.

Keempat, Penerapan teknologi ramah lingkungan dalam setiap aktifitas kehidupan seperti pertanian organik, pemanfaatan tenaga surya, pemanfaatan energi angin, pemanfaatan energi air, biodiesel, pemanfaatan bakteri dan mikroba. Dengan memaksimalkan penerapan teknologi tersebut harapannya dapat menurunkan penggunaan pestisida, bahan kimia dalam pertanian serta penggunaan energi fosil.

Kelima, pemanfaatan bahan-bahan yang dapat terdekomposisi secara sempurna dengan mengurangi penggunaan plastik. Plastik merupakan material yang tidak mudah untuk terdekomposisi, membutuhkan waktu yang lama. Butuh waktu 50-100 tahun untuk mengurai plastik.

Keenam, membatasi kebijakan politik dan ekonomi yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan sosial budaya dan lingkungan.

Ketujuh, implementasi penegakan hokum terhadap pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan pidana hukuman yang berat dan denda yang tinggi. Mengingat pada saat ini penegakan hukum hanya bersifat administrasi dan para pelaku perusakan masih bebas tanpa jeratan hukum pidana.

Sumber daya alam bersifat terbatas dan kebutuhan manusia tak terbatas. Alam menjadi pembatas bagi keberlanjutan kehidupan manusia bila ketersediaannya habis. Bukan mustahil kiamat diciptakan oleh manusia sendiri, karena bumi tak lagi menyediakan bahan makanan dan tidak lagi ramah untuk kehidupan manusia. Artikel telah diterbitkan di kumparan.com.

Penulis: Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling

Comments0

Komentar dengan link tidak diperkenankan.

Type above and press Enter to search.