*TSd0TUWlBUC0Gpz9GSO9GpMlBA==*

Perubahan Iklim: Ancaman Nyata Ketahanan Pangan Indonesia

Ilustrasi Pertanian Padi Sawah. Foto: pixabay.com


Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling


Tanikita.com - Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan bahwa "salah satu ancaman paling serius terhadap keberlanjutan ketahanan pangan adalah perubahan iklim."


Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia. Tanpa pangan keberlangsungan hidup manusia akan terganggu. 


Akibat pertambahan penduduk kebutuhan pangan setiap tahun mengalami peningkatan. Artinya semakin banyak jumlah penduduk, semakin banyak pangan yang harus disediakan oleh negara untuk rakyatnya.


Mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Menurut BPS Angka konsumsi beras nasional pada tahun 2017 adalah 111 kilogram per kapita per tahun. Apabila dihitung dengan total jumlah penduduk Indonesia saat ini total konsumsi beras kurang lebih 30 juta ton per tahun.


Pemenuhan kebutuhan beras secara nasional yaitu melalui produksi dalam negeri dan impor. Produksi beras dalam negeri yang dihasilkan oleh petani berkisar 32 juta ton dengan luas sawah 7,46 juta hektar.


Produksi tersebut terpenuhi apabila tanpa gangguan hama dan penyakit serta faktor lain. Namun banyak faktor yang mempengaruhi produksi padi salah satunya adalah pengaruh perubahan iklim. Penurunan produksi padi akibat perubahan iklim mengganggu pasokan beras nasional dan ketahanan pangan.


Perubahan iklim berkaitan dengan kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang tergolong dalam Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Gas Rumah Kaca yang menyelimuti bumi mengakibatkan panas terperangkap sehingga meningkatkan suhu bumi menjadi lebih panas.


Pada saat ini peningkatan GRK di atmosfer tidak lagi terjadi secara alami namun lebih besar diakibatkan oleh aktivitas manusia (Anthropogenic).


Menurut United Nation Framework Convention On Climate Change atau UNFCCC, Perubahan iklim didefinisikan sebagai bentuk perubahan terhadap iklim yang ada baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung dari tindakan manusia yang memicu perubahan komposisi atmosfer global yang juga berpengaruh pada tingkat variabilitas iklim pada kurun waktu tertentu.


Dalam Protokol Kyoto gas-gas yang diklasifikaikan sebagai GRK penyebab perubahan iklim adalah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitirit Oksida (N20), Hidrofluorokarbon (HFC), Perflourokarbon (PFC), dan Sulfat Heksaflourida (SF6).


Sebagai negara agraris, sektor pertanian menyerap jumlah pekerja 33,4 juta penduduk. Jumlah penduduk yang bekerja menjadi terganggu apabila perubahan iklim memengaruhi sektor ini. Karena pertanian sangat bertumpu pada siklus air dan perubahan cuaca untuk menjaga produktivitasnya.


Apabila ketersedian air cukup, kesuburan tanah yang baik, serangan hama penyakit dapat dikendalikan dan cuaca ekstrim tidak terjadi sudah bisa dipastikan produksi akan terjaga.


Dampak Pada Sektor Pertanian

Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, mulai dari kekeringan, kenaikan air muka laut, gelombang panas, hingga cuaca ekstrem yang semakin sering dan parah. Hal tersebut juga berpengaruh pada sektor pertanian terkhusus pada tanaman pangan.


Las dan Surmaini (2011) mengemukakan, pertanian terutama subsektor tanaman pangan paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama yaitu biofisik, genetic, dan manajemen.


Beberepa riset telah dilakukan terkait perubahan iklim pengaruhnya terhadap produksi tanaman pangan. Perubahan iklim telah menimbulkan dampak pada penurunan produksi pangan, khususnya di negara berkembang, termasuk Indonesia.


Penurunan produksi pangan terutama disebabkan meningkatnya suhu dan salinitas tanah, cuaca ekstrim yang menyebabkan kekeringan dan banjir, serangan hama dan penyakit dan penurunan kapasitas produksi akibat kerusakan di infrastruktur pertanian.


Penelitian yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2007) di daerah tropis menunjukkan bahwa produksi jagung dan padi menurun akibat meningkatnya suhu udara dan perubahan iklim. Kenaikan suhu 2 derajat Celsius mengurangi produksi jagung sebesar 20 persen dan produksi padi sebesar 10 persen.


Hasil riset yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), bahwa Negara Filipina, Indonesia, Vietnam dan Thailand diperkirakan akan mengalami penurunan hasil padi sekitar 50 persen pada tahun 2100 dibandingkan dengan tahun 1990 rata-rata dengan asumsi apabila tidak ada perbaikan sarana teknis. Di Indonesia diperkirakan akan menurunkan produksi padi sebesar 34 persen dan 75 persen di Filipina.


Studi yang dilakukan oleh Naylor et al pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa penurunan produksi pangan terjadi di Jawa dan Bali akibat kekeringan. Penurunan produksi pangan tersebut mencapai 18 persen pada periode Januari sampai April.


Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian

Untuk menurunkan dampak negatif dan penyimpangan perubahan iklim pada sektor pertanian perlu adaptasi ataupun penyesuaian.


Pertama, adaptasi pola tanam atau penjadwalan penanaman melalui peta kalender tanam sesuai daerah masing-masing. Pola tanah bisa didapatkan melalui bantuan penyuluh pertanian atau dinas pertanian setempat


Kedua, memilih jenis benih yang tahan terhadap cuaca ekstrim (hujan maupun kemarau) dan tahan terhadap serangan penyakit,


Ketiga, panen air hujan saat musim hujan untuk pemanfaatan dimusim kemarau. Penyimpanan air hujan melalui embung atau pembuatan bak untuk penampungan air.


Dari beberapa riset yang dilakukan para ahli baik di tingkat dunia, asia dan di Indonesia, dampak perubahan iklim sungguh sangat nyata terjadi pada sektor pertanian terkhusus tanaman pangan.


Apabila ini tidak segera di atasi bukan mustahil Indonesia akan kekurangan cadangan pangan khusunya beras. Beberapa kasus tersebut seharusnya menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah untuk menentukan langkah-langkah strategis adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat regional khususnya Indonesia.

Comments0

Komentar dengan link tidak diperkenankan.

Type above and press Enter to search.