*TSd0TUWlBUC0Gpz9GSO9GpMlBA==*

Dampak Petani Latah

Tanaman Cabai varietas Samido PT. primasid Foto: Dwi Tyas Pambudi

Tanikita.com - Keuntungan dari hadirnya teknologi jejaring sosial dan media yang kita rasakan pada saat ini adalah tersebarnya informasi yang cepat, dapat diakses semua kalangan kapanpun dan di manapun. Namun berpengaruh pada perilaku dan pengambilan keputusan.

Pertukaran informasi harga komoditas pertanian pada saat ini sangat mudah untuk didapatkan. Sehingga petani cepat mengetahui harga komoditas pasaran Indonesia maupun dunia. Harga salah satu komoditas pertanian yang tinggi memengaruhi petani untuk ikut-ikutan menanamnya (latah).

Disadari atau tidak akibatnya, petani mengambil keputusan spekulasi untuk menanam jenis tanaman yang mempunyai harga jual tinggi saat ini. Lahan yang tidak seberapa akan mengoda petani untuk merubah seluruh komoditas tanaman yang diusahakan pada saat ini. Dengan harapan akan mendapat harga yang mahal dan keuntungan bila panen di kemudian hari.

Melimpahnya salah suatu komoditas pertanian di pasaran, disinyalir terdampak dari sifat latah petani akibat tingginya harga komoditas tersebut pada suatu waktu. Psikologis petani menjadi terganggu bila mendapatkan informasi salah satu jenis komoditas pertanian mahal. Mereka cenderung akan tergoda dan akan berusaha menanamnya. Walaupun tanpa pengetahuan dan ilmu yang memadai.

Kegiatan Farmer Field Day Kubis PT Primasid. Foto: Marjoko

TEROMBANG-AMBING

Beberapa kasus terjadi dan dapatenjadi pelajaran, misalnya pada tahun 1990-an komoditas Vanili (Vanilla planifolia) mempunyai nilai tawar yang tinggi sehingga seluruh masyarakat menanam vanili. Hal ini terjadi  juga pada produk lain. Seperti meningkatnya harga tanaman nilam (Pogostemon cablin), kayu Gaharu (Aquilaria) maka mereka juga akan menanam jenis tanaman ini.

Contoh lain demam tanaman sawit (Elaeis guineensis) dan komoditas Karet (Hevea brasiliensis) membuat petani terkhusus di Provinsi Bengkulu melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi tanaman kelapa sawit. Alhasil apa yang dirasakan sekarang, petani di beberapa Kabupaten banyak yang menebang kelapa sawit mereka dan kembali menanam padi karena dinilai sudah tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Begitu juga komoditas karet, pada saat harga mencapai 25.000 per kilogram banyak petani yang sudah memiliki tanaman kelapa sawit mereka tebang dan beralih menanam karet. Hal ini terus terjadi tanpa ada solusi dari pemangku kebijakan, petani terombang ambing oleh keadaan pasar yang tidak menentu. Hal ini cenderung merugikan dan menjadi momok bagi petani di Indonesia. Sehingga pekerja di sektor ini stagnan dan cenderung berkurang.  

Contoh lain, pada tahun 2015 harga merica (Piper nigrum) di tingkat petani berkisar 130.000 untuk satu kilogram. Pada tahun-tahun sebelumnya harga merica hanya berkisar pada Rp. 25.000. Perubahan harga tersebut sangat mengganggu psikologis petani. Sehingga banyak petani yang beralih untuk menanam jenis tanaman ini. Tentunya dampak tersebut banyak tanaman tahunan seperti tanaman kopi yang ditebang dan diganti dengan komoditas tanaman ini. Bibit yang mahal pun sanggup dibeli petani, jutaan bibit digelontorkan untuk mencukupi kebutuhan petani. Sampai-sampai pemerintah desa dengan Dana Desa mengalokasikan untuk pengadaan dan pembelian bibit lada.

Namun apa yang terjadi sekarang, komoditas tanaman merica kembali ke-harga yang normal yaitu 25.000-30.000 dan cenderung stagnan. Petani pun dibuat susah dengan keadaan ini. 

Apakah petani lada akan menebang tanaman lada mereka dengan mengganti dengan tanaman Cabai, karena pada saat ini seluruh Indonesia harga cabai sangat tinggi dan menguntungkan petani yaitu berkisar 50.000-80.000 per kilogram. Sunguh ironis bila petani menebang tanaman merica mereka dan mengganti dengan tanaman cabai.

Alhasil pada saat ini tanaman merica tidak banyak yang diurus. Tanpa perawatan dan hanya dipanen bila ada buahnya. Karena tanpa perawatan yang maksimal membuat hasilnya pun tidak maksimal. Sudah terdampak dengan harga murah, hasil pun sedikit karena tidak ada perawatan. Sudah jatuh tertimpa tangga.  Petani sudah mengalami kelelahan dengan mengejar semua komoditas yang mempunyai harga tinggi. 

Tanaman utama yang telah diusahakan bertahun-tahun seperti kopi telah ditebang. Mengeluarkan modal kembali untuk biaya penanaman komoditas merica, menunggu bertahun-tahun untuk panen merica, ternyata setelah panen merica pun murah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tamat sudah nasib petani. 

Sifat spekulasi ini cukup 'lumrah' dan beralasan, karena menjadi seorang petani tidak mudah. Hal ini beralasan karena petani di Indonesia sangat sulit dan termarjinalkan tanpa proteksi dan kepastian harga yang akan berimbas terhadap kehidupan mereka. Alih-alih mendapatkan keuntungan yang melimpah, tingginya saprodi pertanian akan berdampak pada harga jual hasil pertanian yang tidak kompetitif.

Comments0

Komentar dengan link tidak diperkenankan.

Type above and press Enter to search.