*TSd0TUWlBUC0Gpz9GSO9GpMlBA==*

Dilema Inflasi Akibat Cabai

Petani cabai Foto: Dwi Tyas Pambudi


Tanikita.com - Cabai merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dunia. Dikenal sebagai bumbu masak, tanaman cabai juga menjadi salah satu komoditas paling memengaruhi inflasi terkhusus di Indonesia. 


Awal mulanya tanaman ini ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. akibat perkembangan zaman, cabai kemudian tersebar di Asia Selatan pada tahun 1500 sehingga mulai terkenal di seluruh penjuru dunia.


Di Indonesia tanaman cabai di budidayakan dari dataran rendah 0 Mdpl (meter dari permukaan laut) sampai ketinggian 1200 Mdpl. Tanaman cabai dibudidayakan petani tidak mengenal musim. Cabai ditanam musim penghujan ataupun kemarau. 

Cabai merah Varietas Samido PT. Agrosid Foto: Dwi Tyas Pambudi


Indonesia mengalami inflasi akibat stok dan harga cabai yang melambung. Bahkan harga cabai melebihi harga daging sapi, berkisar pada harga 130-160 ribu rupiah. Hal ini membuat Negara ini mengeluarkan kebijakan impor untuk menurunkan harga cabe yang mengakibatkan inflasi. Pada bulan Februari 2017, Bank Indonesia (BI) mencatat inflasi sudah mencapai level 0,35%. Tingginya inflasi ini diduga kuat akibat mahalnya harga cabai. 


Mahalnya harga cabai di prediksi oleh berbagai pihak akibat kurangnya stok produksi cabai nasional pada saat itu. Selain faktor cuaca ekstrim (hujan) sehingga membuat gagal panen pada sentra produksi cabai.


Dilema Import

Untuk mengantisipasi inflasi yang semakin parah akibat melonjaknya harga komoditas cabai, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan impor.


Kebijakan impor yang di tempuh pemerintah dianggap solusi cepat untuk mengatasi keadaan. Namun dilain pihak akan merugikan petani. Menikmati harga cabai yang fantastis misal 100 ribu rupiah per kilogram bagi seorang petani memang sangat diharapkan.

Cabai merah Varietas Samido PT. Agrosid Foto: Dwi Tyas Pambudi


Sudut pandang petani, kebijakan impor dirasa tidak tepat untuk menyelesaikan masalah pertanian khususnya cabai. Pemerintah harus mencari sebuah kebijakan baru (win win solution) yang menguntungkan bagi petani, konsumen dan menurunkan inflasi akibat melonjaknya harga cabai.


Dihadapkan dengan harga cabai yang mahal dan inflasi, Pemerintah dihadapkan situasi yang sulit. Di satu sisi kebijakan import cabai untuk menekan inflasi akibat harga cabai dilain pihak petani dirugikan akibat hasil panen cabai kembali murah. 


Saat artikel ini ditulis pada tahun 2017 harga cabai hijau di Rejang Lebong, Bengkulu berkisar Rp. 3000 rupiah dan cabai Merah berkisar Rp.10.000 (harga ini di tingkat petani). Padahal untuk modal tanam cabai per batang berkisar Rp. 5000-7000/batang. Dengan kisaran harga tersebut sudah dipastikan petani merugi. 


Dari kasus di atas sepertinya pemerintah saat ini belum bisa memberikan jaminan terhadap harga jual ditingkat petani dalam bentuk regulasi atau kebijakan yang memberikan insentif atau subsidi bagi hasil panen petani. Misalnya dengan menerapkan HPP (harga pokok pembelian) atau bahkan menampung hasil panen petani dibeli sesuai dengan standar pasar.


Dilihat dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai kebijakan import harusnya didukung dengan data yang valid. Apa memang benar kita ini benar kekurangan cabai? atau hanya sebagian wilayah saja yang kekurangan sedangkan daerah lain tidak? Atau hanya distribusi antar wilayah yang kurang merata ataupun hanya tidak adanya kerjasama sektoral mengenai informasi mengenai stok cabai setiap wilayah. 


Kerjasama di bidang informasi setiap daerah harus menjadi prioritas. Misalnya setiap provinsi memiliki data tanam cabai, potensi perbulan, luasan, jadwal panen yang real time. Dengan adanya data ini Potensi tanaman cabai di Indonesia terpetakan dan potensinya bisa terlihat dan kebijakan apa yang bisa diambil. 

Penulis: Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling

Comments0

Komentar dengan link tidak diperkenankan.

Type above and press Enter to search.