*TSd0TUWlBUC0Gpz9GSO9GpMlBA==*

Limbah Makanan dan Pemanasan Global


Kampanye Lingkungan Foto: Pixabay.com

Tanikita.com - Manusia modern saat ini seluruh aktivitasnya cenderung berdampak buruk terhadap lingkungan. Tidak saja penggunaan bahan bakar fosil. Namun hal terkecil yang dianggap lumrah bagi sebagian orang adalah membuang sisa makanan yang ada di rumah kita. Perilaku tersebut berdampak pada perubahan iklim.


Laporan Food Sustainable Index (FSI) 2016, menempatkan Indonesia pada urutan ke dua sebagai negara yang paling banyak membuang makanan dan menjadi sampah (food waste) terbesar kedua setelah Saudi Arabia. Per tahun, setiap individu di Indonesia membuang 300 kilogram makanan. Bila diestimasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, maka hasil limbah makanan yang dibuang mencapai 81 juta ton per tahun.

Makanan sudah mulai terbuang (food loss) tidak hanya terjadi pada saat aktivitas kita makan. Namun dimulai sejak pengolahan sampai proses distribusi. Makanan mulai terbuang sejak melewati proses transportasi, rusak, dan terseleksi sebelum dijual di toko ataupun di pasar. Kemudian terbuang saat pengolahan, salah potong, dan terseleksi lagi saat dimasak. Puncaknya saat makan.

Limbah makanan yang terbuang pada saat proses produksi, distribusi dan pada saat makan, akan menghasilkan gas rumah kaca (GRK) yaitu karbondioksida (CO2) dan zat metane (CH4). GRK ini cukup signifikan mengakibatkan pemanasan global (global warming) yang berakibat pada perubahan iklim.

Limbah makanan yang berada di tempat pembuangan menghasilkan zat metane dalam jumlah yang besar. Zat ini lebih berdampak pada pemanasan global dibandingkan dengan CO2.
Sampah Sayuran (Source : https://pixabay.com/id/photos/kompos-sampah-biologi-limbah-buah-3663514/)
Sampah Sayuran Foto: pixabay.com

Perubahan iklim secara sadar sudah kita rasakan pada saat ini, ditandai dengan peningkatan suhu bumi, peningkatan permukaan air laut, cuaca ekstrem, bencana banjir, dan longsor.

Mengawali tahun 2021, Indonesia mengalami banyak bencana ekologis yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Data yang dihimpun oleh BNPB dari bulan Januari-Februari Tahun 2021, telah terjadi 355 bencana. Dari seluruh bencana tersebut didominasi oleh bencana banjir sebanyak 217 kejadian, puting beliung sebanyak 63 kejadian, tanah longsor 58 kejadian, gempa bumi dan gelombang pasang dan abrasi sebanyak 7 kejadian, serta karhutla sebanyak 3 kejadian. Dari data tersebut 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
Global Nitrous Oxide Budget 2020 Foto: wikimedia.org
Global Nitrous Oxide Budget 2020 Foto: wikimedia.org

Selain kerusakan infrastruktur, bencana tersebut mengakibatkan trauma psikologis bagi penyintas. Akibat dari bencana tersebut 1.740.269 jiwa mengungsi, sebanyak 215 jiwa meninggal dunia dan 7 jiwa menghilang, serta 12.055 jiwa mengalami luka-luka baik berat maupun ringan.

Indonesia merupakan negara yang dianggap rawan terhadap pengaruh perubahan iklim. Pada tahun 2014 lembaga riset keuangan Amerika Serikat, standard and poor’s mengeluarkan kajian kerentanan negara-negara di seluruh dunia atas perubahan iklim. Penelitian tersebut dibuat berdasarkan tiga acuan: Berapa banyak masyarakat yang tinggal di pesisir dan kerentanannya, berapa besar ketergantungan pada sektor pertanian, dan seberapa siap sistem negara ini menghadapi perubahan iklim, hasil riset menempatkan Indonesia digolongkan sangat retan.

Sebagai warga negara yang baik seharusnya kita peduli dengan kelangsungan hidup anak cucu nanti. Salah satu aktivitas yang dapat kita lakukan untuk menekan dan mengurangi GRK penyebab pemanasan global adalah dengan mengurangi terbuangnya makanan yang kita konsumsi menjadi limbah.

Hal tersebut dapat kita lakukan dengan mengubah pola makan keluarga, jenis makanan dan dari mana makanan tersebut berasal seperti: 1) Memperbanyak konsumsi makanan berbasis nabati (plant based); 2) Mengurangi makan daging; 3) Tidak membuang sisa makanan dengan makan secukupnya; 4) Memperoleh bahan makan dekat dengan perumahan kita atau makanan lokal; 5) Mengomposkan sisa hasil makanan.

Makanan yang ramah iklim banyak terdapat di sekitar kita. Makanan tersebut tidak harus mahal, namun sehat dan terpenuhinya unsur gizi serta untuk melestarikan alam sebagai tujuannya. Kita juga mendukung komitmen global dalam pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs) poin 12 yaitu memastikan konsumsi dan produksi berkelanjutan.
Penulis: Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling

Comments0

Komentar dengan link tidak diperkenankan.