Tanikita.com - Ilmuwan terkemuka berkewarganegaraan Inggris Sir David King mengatakan “Isu perubahan iklim lebih mengkhawatirkan dari pada isu terorisme.”
Mengawali tahun 2021, Indonesia mengalami begitu banyak bencana. Data yang dihimpun oleh BNPB dari bulan Januari-Februari tahun 2021, telah terjadi 355 bencana. Dari seluruh bencana tersebut didominasi oleh bencana banjir sebanyak 217 kejadian, puting beliung sebanyak 63 kejadian, tanah longsor 58 kejadian, gempa bumi dan gelombang pasang dan abrasi sebanyak 7 kejadian, serta karhutla sebanyak 3 kejadian. Dari data tersebut 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
Selain kerusakan infrastruktur, bencana tersebut mengakibatkan trauma psikologis bagi penyintas. Akibat dari bencana tersebut 1.740.269 jiwa mengungsi, sebanyak 215 jiwa meninggal dunia dan 7 jiwa menghilang, serta 12.055 jiwa mengalami luka-luka baik berat maupun ringan.
Apa penyebabnya?
Di sejumlah wilayah Indonesia, gejala perubahan iklim semakin dirasakan, terutama musim kemarau dan penghujan. Pada musim kemarau, yang terjadi semakin panjang dari tahun ke tahun, sementara pada musim penghujan, telah berlangsung dengan intensitas yang lebih tinggi, yang waktunya lebih singkat serta bergeser dari waktu yang biasanya (Naylor dkk, 2007 dalam Adib, 2014).
Negara Indonesia dianggap rawan terhadap pengaruh perubahan iklim. Tahun 2014 lembaga riset keuangan Amerika Serikat, Standard and Poor’s melakukan kajian kerentanan terhadap negara-negara di seluruh dunia akibat dari perubahan iklim. Penelitian tersebut mengukur tiga parameter acuan: berapa banyak masyarakat yang tinggal di pesisir dan kerentanannya, berapa besar ketergantungan pada sektor pertanian, dan seberapa siap sistem negara ini menghadapi perubahan iklim, hasil riset tersebut menempatkan Negara Indonesia pada posisi yang sangat retan.
Perubahan iklim (climate change) berkaitan dengan kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang tergolong dalam Gas Rumah Kaca (GRK). Gas Rumah Kaca yang menyelimuti bumi mengakibatkan panas terperangkap sehingga meningkatkan suhu bumi menjadi lebih panas. Fenomena tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca (green house effect) Pada saat ini peningkatan GRK di atmosfer tidak lagi terjadi secara alami namun lebih besar diakibatkan oleh aktivitas manusia (Anthropogenic).
Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan, meningkatnya cuaca ekstrim dari tahun ke tahun merupakan akibat dari perubahan iklim. Perubahan iklim global, secara lebih detil, dipicu oleh akumulasi gas-gas pencemar di atmosfer terutama akibat dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, industri, penggunaan lahan yang eksploitatif telah berkontribusi meningkatkan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti Karbon Dioksida (CO2), Methane, (CH4), Nitrous and Oxide, (N2O), Hydro Fluorocarbons (HFCs), Per Fluorocarbons (PFCs), dan Sulfur Hexafluoride (SF6) yang terakumulasi dan terjerap di atmosfer.
Menurut United Nation Framework Convention On Climate Change atau UNFCCC, Perubahan iklim didefinisikan sebagai bentuk perubahan terhadap iklim yang ada baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung dari tindakalan manusia yang memicu perubahan komposisi atmosfer global yang juga berpengaruh pada tingkat variabilitas iklim pada kurun waktu tertentu.
Contoh sederhana untuk memudahkan kita memahami pemanasan global akibat perubahan iklim atau efek rumah kaca adalah panas ruang kabin mobil pada siang hari. Kaca yang mengelilingi mobil diibaratkan sebagai dinding rumah kaca. Ketika panas, radiasi matahari mengenai kaca tersebut dan secara leluasa masuk ke ruangan kabin. Kemudian panas tersebut diserap dan pantulkan di dalam kabin. Karena berasal dari kaca, pantulan panas dari radiasi tersebut tidak dapat keluar dari dalam kabin. Sehingga semakin lama terjadi peningkatan suhu di dalam kabin. Kaca tersebut diibaratkan sebagai GRK.
Selain itu pemanasan global dapat diibaratkan seperti katak yang ada dalam panci yang dipanaskan di atas api. Pada awalnya sebelum terjadinya kenaikan suhu, katak nyaman tinggal dalam kuali tersebut. Namun lama kelamaan air menjadi panas akibatnya katak menjadi kepanasaan dan mati.
Penyataan Sir David King tersebut sangat relevan pada saat ini. Dari dampak yang bersifat global, dan kerugian yang begitu besar baik materi maupun jiwa wajar beliau mengibaratkan “Isu perubahan iklim lebih mengkhawatirkan dari pada isu terorisme.” Artikel telah diterbitkan di kumparan.com
Penulis: Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling
Referensi
Adib. M. 2014. Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian. BioKultur, Vol.III/No.2/Juli-Desember 2014, hal. 420
Comments0
Komentar dengan link tidak diperkenankan.