Ilustrasi Nelayan di Afrika Foto: wikimedia commons |
Tanggal 6 April setiap tahun sejak 1960 Hari Nelayan Nasional diperingati. Pada saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menyuarakan dampak perubahan iklim pada kehidupan nelayan.
Menurut data KKP Jumlah nelayan di Indonesia mencapai 1.685.018 jiwa dan 95,6 persennya adalah nelayan tradisional yang berdomisili di sekitar pesisir pantai dan tergolong miskin. Sejumlah nelayan tersebut harus bersaing dengan nelayan lain yang memiliki alat tangkap yang lebih canggih, kapal yang lebih besar serta dampak perubahan iklim.
Keadaan geografis yang diapit oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta panjang garis pantai mencapai lebih 80.000 kilo meter, Indonesia memiliki potensi kekayaan laut yang sangat besar. Namun kekayaan laut tersebut berbanding terbalik dengan kondisi nelayan tradisional yang tinggal di sekitarnya pada saat ini.
Listyawati 2016 menyebutkan, kemiskinan nelayan tradisional digolongkan dalam kemiskinan struktural, yakni kemiskinan di mana nelayan tradisional terhalang persoalan struktural sehingga tidak bisa menggunakan sumber pendapatan yang tersedia. Persoalan struktur tersebut adalah pertama nelayan memiliki akses rendah pada pelayanan Pendidikan dan Kesehatan. Kemudian yang kedua, nelayan memiliki akses yang lemah untuk mendapatkan modal sesuai kebutuhan. Ketiga, nelayan tradisional tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Keempat, nelayan tradisional terbatas dalam penguasaan alat produksi. Kelima, wilayah penangkapan nelayan tradisional terbatas karena memiliki alat produksi yang terbatas pula.
Nelayan tradisional mempunyai peran yang sangat strategis dalam ketahanan pangan. Nelayan penghasil ikan yang penting untuk gizi masyarakat khususnya protein hewani. Produksi perikanan tangkap laut dalam negeri menurut data KKP tahun 2019 mencapai 7.813.550 ton. Kini konsumsi ikan perkapita mencapai 35,14 kg per kapita per tahun.
Sektor nelayan merupakan penyedia lapangan pekerjaan. Dengan pertumbuhan penduduk 270,2 juta saat ini kebutuhan konsumsi ikan tentunya meningkat dan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Tumbuhnya konsumsi perikanan dalam negeri berimplikasi pada jumlah ikan yang harus disediakan. Untuk meningkatkan produksi perikanan tersebut sangat banyak membutuhkan tenaga kerja dan secara langsung membuka lapangan pekerjaan bagi 10 juta pengangguran saat ini.
Dampak Perubahan Iklim di Pesisir
Kedua, membangun benteng alam yaitu penanaman jenis tanaman manggrove atau jenis tanaman lain yang dapat dijadikan benteng alami bagi kenaikan gelombang pasang dan banjir rob, selain sebagai benteng alami, manggrove juga sebagai penyerap untuk menggurangi polutan di atmosfer seperti CO2 dan tempat berkembangnya berbagai jenis hewan laut, seperti udang, kepiting dan lain sebagainya.
Ketiga, merelokasi warga yang sudah terdampak di tempat yang lebih aman dan tidak jauh dari pantai. Mengingat relokasi akan berdampak pada kehidupan sosial dan budaya yang sudah terbangun selama ini. Relokasi harus memikirkan kehidupan sosial warga ke depannya yang sangat tergantung dengan kawasan pantai atau pesisir.
Keempat, melakukan pemberdayaan bagi masyarakat pesisir untuk adaptasi perubahan iklim bagi nelayan tradisional,
Kelima, sebaiknya pemerintah hadir langsung memberikan bantuan berupa kapal dengan 10 gros ton dengan sekema kredit tanpa bunga ataupun bantuan langsung. Mengingat dampak perubahan iklim mengakibatkan gelombang pasang yang tinggi. Kapal tradisional di bawah 10 GT tidak memungkinkan melaut pada kondisi cuaca ekstrim dan kondisi laut yang pasang.
Keenam, pemerintah harus melakukan pembangunan tanggul di sekitar pemukiman warga di sekitar pantai atau pesisir yang terkena dampak banjir rob terparah. Hal ini untuk mengantisipasi genangan di rumah para nelayan yang sudah terdampak. Perubahan iklim merupakan dampak yang kita rasakan bersama pada saat ini. Sinergitas untuk mengurangi dampak perlu dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat baik pemerintah, swasta dan individu. Artikel telah diterbitkan di Kumparan.com
Penulis: Dwi Tyas Pambudi, SP., M.Ling
Comments0
Komentar dengan link tidak diperkenankan.